Jakarta – Direktur Utama BPDLH, Joko Tri Haryanto, mengatakan keterbatasan fiskal tak membuat pemerintah daerah berhenti melindungi lingkungan. Justru, sejumlah provinsi kini menunjukkan kreativitas dalam mencari sumber pendanaan alternatif.
Salah satunya melalui skema Result Based Payment (RBP) REDD+ dari Green Climate Fund (GCF) yang disalurkan oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
Joko menyebut banyak daerah tak lagi bergantung sepenuhnya pada APBD untuk menjalankan program perlindungan hutan.
Dari 38 provinsi kalau kita bisa lihat di sini, banyak daerah yang sudah inovatif. Jadi, ketika APBD-nya mengalami hambatan, daerah-daerah itu justru makin kreatif dengan mencari sumber-sumber pendanaan yang ada di, melalui BPDLH, kata Joko dalam acara Penandatanganan MoU BPDLH dengan Lembaga Perantara Penyaluran RBP 15 Provinsi, di Grand Melia, Jakarta, Kamis (7/8/2025).
Dia menuturkan, program RBP REDD+ menjadi salah satu jawaban. Dari total USD 103,8 juta dana yang masuk, sebanyak USD 56 juta atau setara Rp 850 miliar telah dialokasikan ke 38 provinsi. Dana ini diberikan berdasarkan kinerja daerah dalam menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
Dari USD56 juta kalau kemudian kita konversi itu setara hampir Rp850 miliar. Di periode satu 9 provinsi itu sudah mendapatkan alokasi sekitar Rp 250 miliar, kemudian hari ini ada 15 provinsi lagi, itu total alokasinya sekitar Rp 261 miliar rupiah, jadi sisanya sekitar Rp 250-an miliar, ujarnya.
Joko menyebut daerah seperti Jambi, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Riau, dan Sumba telah menjadi contoh sukses pemanfaatan dana RBP dengan pendekatan kolaboratif bersama NGO lokal.
Jambi, Kaltim, Kalbar, Kalsel, Sumba, Riau, itu daerah-daerah yang memang sudah banyak melakukan kreatifitas bersama dengan BPDLH dan teman-teman dari Kementerian Perhutanan, ujarnya.