Jakarta Kelompok buruh mengaku tak sepakat dengan hasil penghitungan angka kemiskinan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Lantaran, hitungannya dinilai berbeda dengan standar internasional.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan BPS menggunakan metodologi dengan kondisi negara Indonesia berada di kelompok negara berpenghasilan rendah (low-income country). Padahal saat ini Indonesia sudah ditempatkan sebagai negara berpenghasilan menengah level atas (upper-middle-income country).
BPS masih menggunakan batas orang miskin yang berpenghasilan sekitar USD 2,5 PPP (purchasing power parity) per hari, sehingga didapatkan jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak 8,57% atau sekitar 24 jutaan orang, kata Said dalam keterangannya, Rabu (30/7/2025).
Dia mencoba mengasumsikan dengan hitungan internasional, yakni orang berpenghasilan USD 3 PPP dikategorikan miskin ekstrem. Bagi Indonesia yang masuk kategori upper-middle-income country, bila menggunakan titik tengah penghasilan orang miskin sebesar USD 5 PPP per hari (sekitar Rp 756.000 per bulan), maka angka kemiskinannya berjumlah sekitar 68 juta orang.
Bahkan Bank Dunia melansir jumlah orang miskin di Indonesia dengan pendapatan sekitar USD 6,5 PPP per hari (sekitar Rp 1,2 juta per bulan), maka jumlah orang miskin di Indonesia adalah 68% atau sekitar 190 juta orang, tuturnya.
Data BPS yang bias ini menunjukkan orang kaya di Indonesia makin kaya, dan orang miskin makin miskin. Terutama di kelompok buruh yang dikelompokkan mendekati miskin (near poor) akan jatuh menjadi orang miskin ketika terjadi PHK dan tidak mendapat bantuan sosial dari pemerintah, sambung Said Iqbal.