Jakarta Di tengah semakin matangnya industri kripto, banyak investor kini mencari cara untuk mendapatkan penghasilan pasif. Dua metode yang kerap dibandingkan adalah cloud mining dan crypto staking. Keduanya menjanjikan imbal hasil dari aset digital, namun dengan pendekatan dan risiko yang sangat berbeda.
Jika cloud mining memungkinkan pengguna menambang kripto tanpa membeli perangkat keras, staking menawarkan imbalan hanya dengan mengunci aset dalam jaringan.
Namun pertanyaannya, mana yang paling menguntungkan di tahun 2025?
Dikutip dari Cointelegraph.com, Cloud mining memungkinkan pengguna ikut menambang Bitcoin atau Ethereum tanpa perlu memiliki dan mengoperasikan mesin ASIC sendiri.
Caranya adalah dengan membeli kontrak penambangan dari penyedia layanan seperti MiningToken, ECOS, atau NiceHash.
Setelah membeli kontrak, pengguna menyewa kekuatan komputasi dari pusat data dan mendapatkan bagian hasil tambang sesuai dengan alokasi yang dibeli, dikurangi biaya layanan dan pemeliharaan.
Di tahun 2025, rata-rata keuntungan cloud mining berada di angka 5% hingga 10% APR (annual percentage rate). Penyedia layanan seperti:
- MiningToken menawarkan kontrak fleksibel berbasis AI dan energi terbarukan, bahkan untuk periode sewa harian.
- ECOS, yang beroperasi di Armenia, menggabungkan layanan mining, dompet kripto, kalkulator ROI, dan opsi kontrak terjangkau mulai dari USD50.
- NiceHash berfungsi sebagai pasar terbuka untuk membeli dan menjual hash power, meski dikenakan biaya layanan sekitar 3%.
Meski demikian, sektor ini tidak bebas dari risiko. Masih banyak penawaran mencurigakan terutama yang dikaitkan dengan koin XRP yang menjanjikan ROI sangat tinggi hingga 800% APR, menyerupai skema Ponzi.
Meskipun teknologi ASIC semakin efisien dan penggunaan energi terbarukan makin meluas, isu lingkungan dan sentralisasi tetap menjadi catatan penting.